Bisnis.com, JAKARTA - Mantan anggota DPR 2014-2019, sekaligus mantan terpidana, Miryam S. Haryani (MSH) telah memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa dalam kasus korupsi KTP elektronik atau e-KPT.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto mengonfirmasi bahwa Miryam telah hadir memenuhi panggilan penyidik, dan kini sedang menjalani pemeriksaan. Sebelumnya, Miryam telah mengonfirmasi kepada penyidik atas kehadirannya hari ini usai tidak hadir pada panggilan sebelumnya, Jumat (9/8/2024).
"Benar Saudari MSH hari ini telah hadir di gedung merah putih KPK dalam rangka memberikan keterangan untuk perkara dugaan TPK Pengadaan Paket Penerapan KTP Elektronik tahun 2011 s.d. 2013," ujar Tessa melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Selasa (13/8/2024).
Adapun penyidik sebelumnya menjadwalkan pemeriksaan Miryam di pekan lalu sebagai tersangka. Tessa tidak memerinci lebih jauh terkait dengan status hukum Miryam saat diperiksa hari ini.
Tessa lalu mengonfirmasi bahwa Miryam saat ini sudah keluar dari penjara usai divonis lima tahun penjara, lantaran memberikan kesaksian palsu pada persidangan kasus e-KTP.
Kini, Miryam diperiksa lagi terkait dengan kasus e-KTP yang turut menjerat mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Baca Juga
"[Penyidikannya menggunakan] sprindik lama," kata Tessa dalam kesempatan terpisah.
Selain Miryam, KPK turut menetapkan tersangka Direktur Utama Perum PNRI yang juga Ketua Konsorsium PNRI, Isnu Edhi Wijaya; Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, Husni Fahmi; serta Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tannos.
Berdasarkan catatan Bisnis, PT Sandipala Arthaputra yang dipimpin Tannos diduga diperkaya Rp145,85 miliar; Miryam Haryani diduga diperkaya US$1,2 juta; manajemen bersama konsorsium PNRI sebesar Rp137,98 miliar dan Perum PNRI diperkaya Rp107,71 miliar; Husni Fahmi diduga diperkaya senilai US$20.000 dan Rp10 juta.
Tannos diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan Husni selaku ketua panitia lelang dan Isnu serta pihak-pihak vendor. Pertemuan di sebuah ruko di Jakarta Selatan ini digelar jauh sebelum proyek ini dilakukan.
Pertemuan-pertemuan yang berlangsung selama kurang lebih dari 10 bulan itu menghasilkan beberapa output di antaranya adalah Standard Operating Procedure (SOP) pelaksanaan kerja, struktur organisasi pelaksana kerja, dan spesifikasi teknis yang kemudian dijadikan dasar untuk penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan oleh Sugiharto selaku PPK Kemendagri.
Tak hanya itu, Tannos juga diduga melakukan pertemuan dengan Andi Agustinus, Johannes Marliem dan Isnu untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati fee sebesar 5 persen. Kini, Tannos masih berstatus buron dan diduga mengganti identitasnya sekaligus memiliki dua kewarganegaraan.
Sementara itu, Miryam diduga memiliki peran yakni ketika pada medio 2011, meminta US$100.000 kepada Dirjen Dukcapil saat itu, Irman, untuk membiayai kunjungan kerja Komisi II ke beberapa daerah.
Permintaan uang dilakukan setelah RDP antara Komisi II DPR RI dan Kemendagri dan dipenuhi Irman melalui perantara Miryam. Tak hanya itu, Miryam juga meminta uang dengan kode “uang jajan” kepada Irman.
Permintaan uang tersebut mengatasnamakan rekan-rekannya di Komisi II yang akan reses.
Sepanjang 2011—2012, Miryam diduga juga menerima fee beberapa kali dari Irman dan Sugiharto. Dalam putusan hakim atas terdakwa mantan Ketua DPR Setya Novanto, Miryam juga diduga diperkaya US$1,2 juta terkait proyek ini.